Sabtu, 23 April 2016

hakim dalam ushul fiqh

HAKIM
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah       : USHUL FIQIH
Dosen Pengampu       : Imam Mustofa, MSI
           
                                         



Disusun Oleh:
Lilis soleha (1502080061)
Kelas A
PRODI D3 PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) JURAI SIWO METRO
TAHUN AKADEMIK 2015/2016

1.    HAKIM
a.    Pengertian Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fiqih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqih, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara  hakiki.[1]
Bila di tinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti yaitu: pertama: “pembuat hukum,  yang menerapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua:  “yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan            menyingkapkan.”[2]
            Hakim termasuk persoalan yang cukup tinggi dalam ushul fiqih, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at  islam, atau pembuatan hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.[3]
            Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syar’iat. Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama menperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi.[4]
            Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT. baik yang berkaitan dengan hukum dan  satu-satunya sumber hukum yang  di titahkan kepada seluruh mukhalaf. Dalam islam, tidak ada syar’iat, kecuali dari Allah SWT. baik yang berkaitan dengan sumber hukum taklif (wajib, haram, makhruh, dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi’ (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, Dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum di atas bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui beberapa teori istinbath, seperti qiyas, ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyikapi hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah: “tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”.[5]
            Ulama ushul fiqih sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syari’at adalah Allah. Hal ini ditunjukkan oleh al-qur’an dalam surat al-An’am ayat 57:
قُلۡ إِنِّي عَلَىٰ بَيِّنَةٖ مِّن رَّبِّي وَكَذَّبۡتُم بِهِۦۚ مَا عِندِي مَا تَسۡتَعۡجِلُونَ بِهِۦٓۚ إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِۖ يَقُصُّ ٱلۡحَقَّۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلۡفَٰصِلِينَ ٥٧
  
57. Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku[479], sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (QS. al-An’am /6:57)
Meskipun para ulama ushul fiqih sepakat bahwa pembuat hukum hanyalah Allah, namun mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya rasulullah, atau akal secara independen bisa juga mengetahuinya.. perbedaan pendapat ini berpangkal dari perbedaan pendapat tentang fungsi akal dalam mengetahui baik dan buruk suatu hal.[6]
            Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama  bahwa yang menjadi sumber hukum syar’I bagi seluruh perbuatan mukhallaf ialah Allah SWT. Sama saja, baik yang berupa pernyataan hukum bagi perbuatan mukallaf langsung dari nash yang diwahyukan Allah kepada rasul-nya, maupun yang merupakan petunjuk kepada mujtahid bagi hukum dari hal perbuatan mukallaf dengan perantaraan dail, atau perintah yang disyariatkan untuk mengumpulkan hukum-hukumnya. Dalam hal ini ulama sepakat mengatakan tentang definisi hukum syar’I, bahwa firman Allah yang bersangkut perbuatan mukallaf itu ditunjukkan, atau dipilih, atau ditempatkan. Dari mereka itu pernyataan termasyhur, berbunyi: tidak ada hukum selain Allah SWT.[7]
            Benarlah firman tuhan yang berbunyi: Dialah yang menerangkan yang sebenarnya, dan dia pemberi keputusan yang paling baik ada perbedaan pendapat di kalangan ulama yang mengatakan bahwa hukum Allah itu ada dalam perbuatan mukallaf. Apakah mungkin bagi akal mengetahui dengan sendirinya tanpa perantara Rasul-rasul dan kitab-kitab suci. Sebab ada orang yang tidak sampai kepadanya dakwah rasul. Namun dia sanggup mengetahui hukum Allah tentang perbuatan mukallaf itu sendiri tanpa Rasul dan kitab suci. Tidak ada perbedan pendapat yang mengatakan bahwa hakim itu Allah. Yang menjadi hakim itu ialah Allah yang memperbedakan hanya mengetahui hukum Allah SWT tentang perbedaan ini maka ulama dapat dibagi tiga bagian.[8]
            Mazhab Al Asy Ariah, pengikut Abu Hasan Al Asy Ari mengatakan bahwa, tidak mungkin akal mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf, kecuali dengan perantaraan Rasul dan kitab. Karena akal itu berbeda-beda kemampuannya dalam menilai perbuatan.[9]
            Mazhab Mu’tazilah, yaitu pengikut Washil bin Utha’. Mazhab ini beranggapan bahwa ada kemungkinan orang mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf itu dengan sendirinya, tanpa perantaraan Rasul dan kitabnya.[10]
            Mazhab Maturidiah. Yaitu pengikut Abu Mansur Maturidi. Inilah mazhab pertengahan dan sederhana yaitu menguatkan ra-I (kemampuan berfikir) katanya, perbuatan mukallaf itu, didalamnya terdapat hal-hal yang khusus, mampu untuk yang baik dan yang buruk. akal itu dibina atas keistimewaan ini. Hukum itu ikut menentukan bahwa ini perbuatan baik dan ini perbuatan buruk. apa yang menurut pertimbangan akal itu buruk, maka dia adalah buruk. tapi tidak lazim hukum Allah itu dalam perbuatan mukallaf sesuai dengan apa yang difikirkan oleh akal tentang baik dan buruk. karena akal itu bila diperas kadang-kadang tersalah.[11]
            Semua ulama sepakat bahwa Allah SWT yang berhak mencipta dan menerapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-hambanya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan menjauhi larangan-larangannya. Dalam konteks penerapan hukum, di lingkungan ulama ushul fiqih dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukh (yang menerapkan hukum) dan Al-muzhir li al hukh (yang membuat hukum menjadi nyata). Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukh ialah, yang berhak membuat dan menerapkan hukum. Yang berhak membuat dan menerapkan hukum hanyalah Allah SWT, tidak ada siapapun yang berhak menerapkan hukum kecuali  Allah.tatapi, perlu ditegaskan kembali,selain digunakan istilah al-hakim dan asy-syari (pembuat syariat)  dalam istilah hakim dan asy-syari  Allah SWT bermakna sebagai pencipta dan pembuat hukum ,harus pula ditambahkan Rasulullah SAW .dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil pengertian bahwa hakim adalah:[12]
Hakim adalah  pembuat hukum yang menerapkan hukum, yang memunculkan hukum dan yang membuat sumber hukum. Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. [13]
Al-hakim ialah Allah SWT dan yang memperkenalkan hukum-hukumnya ialah Rasul-rasulnya dengan apa yang disampaikannya kepada manusia. Telah disebutkan dalam definisi hukum bahwa ia adalah khitob Allah dan disimpulkan dari situ bahwa khitob Allah diambil dalam hakikat hukum sehingga tiada hukum kecuali yang bersumber dari Allah dan ini adalah masalah yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin.[14]
Disepakati bahwa wahyu merupaka sumber syari’at. Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama memperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hakim adala Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya pembuat hukum yang di perintahkan kepada setiap mukallaf. Dalam islam tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Hal tersebut telah ditunjukkan dalam al-qur’an surat An-nisa ayat 59.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisa : 59)[15]
Sedangkan dari pengertia kedua tentang hakim di atas  ulama ushul fiqih membedakan sebagai berikut:
1.    Sebelum Muhammad SAW. Diangkat sebagai Rasul
2.    Setelah diangkatnya Muhammad SAW sebagai Rasul dan menyrbarkan dakwah islam.[16]
Masalah ini menimbulkan pertentangan dikatakan bahwa mereka yang menyampaikan hukum Allah SWT adalah khusus para Rasul dan tidak ada jalan yang menghalangi hukum Allah dengan akal sebelum mengutus seorang Nabi. Dikatakan pula bahwa akal bisa sendirian memahami hukum Allah dalam perbuatan berdsarkan pengetahuannya akan hal baik dan buruk. pendapat yang pertama berdasarkan bahwa dalam perbuatan-perbuatan itu tidak terdapat sifat-sifat baik dab buruk terhadap dzatnya dengan sebab perbuatan itu yang diminta Allah untuk melakukannya dan meninggalkannya . akan tetapi ia minta untuk melakukan apa yang dikehendakinya sehingga menjadi baik dan minta untuk meninggalkannya sehingga menjadi buruk. pedapat kedua berdasarkan pensifatan perbuata-perbuatan baik dan buruk menurut sifat dzatnya dan bahwa akal bisa sendirian memahami hal itusebelum datangnya syariat dan hukum-hukum Allah harus sesuai sifat perbuatan-perbuatan itu, maka dimungkinkan memahami hukum-hukum itu sebelum datangnya syariat sesuai yang dipahami oleh akal. Untuk menunjukkan yang besar di antara pendapat-pendapat itu haruslah kita bicarakan hal-hal ini: apakah kebaikan dan keburukan itu, apakah mungkin bagi akal sendirian memahami hal itu, apakah hukum-hukum Allah harus sesuai dengan apa yang di pahami akal dalam perbuatan dari kebaikan dan perburukan.[17]
Dalam pandagan islam yang berhak membuat dan menetapkan hukum dalam arti sebenarnya adalah Allah SWT karena yang akan menjalankan hukum itu adalah manusia yang tidak mungkin berhadapan secara fisik dengan Allah pembuat hukum itu, maka tentu ada yang menyampaikan hukum Allah itu kepada manusia. Penyampai hukum Allah itu adalah Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian hukum Allah itu baru diketahui dan berlaku setelah Nabi lahir, diutus dan menyampaikan kitab Allah tersebut. Hal ini berarti sebelum diutusnya Nabi Muhammamd belum berlaku beban hukum terhada[18]p manusia.
b.    Baik dan buruk.
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih tentang  baik dan buruk.
1.    Al-husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabi’at manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedang buruk ataupun qabih adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan tabi’atmanusia, misalnya menyakiti orang lain.
2.    Al-husnu, diartikan sebagai sifat yang sempurna, misalnya kemuliaan dan pengetahuan. Sebaiknya, qabih diartikan sebagai  sifat jelek, yaitu kekurangan dalam diri seseorang, seperti bodoh, fakir. Kedua pengertian tentang hasan atau qabih telah disepakati oleh para ulama bahwa hal itu hanya bisa dicapai oleh akal.
3.    Al-husnu, adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih, merupakan segala perbuatan yang tidak dikerjakan oleh manusiua. Hal itu disepakati para ulama dalam ha yang tidak bisa di capai oleh akal.
4.    Al-husnu, diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT. Kelak di akhirat. Sebaliknya qabih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan, seperti maksiat, mencuri, dan lain-lain.[19]
Pengertian yang diperselisihkan oleh para ulama adalah nomor tiga dan empat, yaitu tentang mungkin tidaknya dicapai oleh akal. Menurut Asy-‘ariyah, pengertian nomor tiga dan empat hanya bisa ditentukan oleh syara’. Baik dan buruknya bukanlah terdapat pada dzatnya, tetapi pada sifatnya yang nisbi (relatif).[20]
Ulama Asy-ariyah (Ahlussunah wal jamah) berpendapat bahwa al-hasan dan al-qabih dalam pengertian ketiga dan ke empat  di atas bersifat syar’i (secara syara’) dan harus ditentukan oleh syara’ karena keduanya hanya dapat diketahui melalui syara’. Baik atau buruk bukanlah terdapat pada dzat, ulama’ mu’tazilah (aliran teologi islam yang rasional dan riberal) berpendapat bahwa al-hasan dan al-qabih dapat dicapai dan ditentukan oleh akal. Akal dapat menentukan baik atu buruknya sesuatu tanpa harus diberitahu oleh syara’. Menurut mereka, sebagian baik dan buruk terletak pada dzatnya, dan sebagian yang lain terlatak pada manfaat dan mudharatnya.[21]
Perbedaan pendapat pendapat tentang baik dan buruk dalam kajian Ushul Fiqih berasal dari perbedaan pendapat dikalangan para ahli ilmu kalam. Hal yang diperbedakan adalah tentang apakah nilai baik dan buruknya suatu benda merupakan sifat esensi dari nilai benda itu atau tidak. Dalam hal ini tendapat beberapa pendapat:
a.    Kalangan mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan yang bersifat baik dan buruknya bersifat esensial. Berkata benan sepanjan esensianya adalah baik dan sebaiknya berbohog sepanjang esensinya adalah buruk. emikian halnya sifat-sifat terpuji seperti adil, santun, berani, jujur, dan menolong orang lain, sepanjang esensinya adalah baik sehingga akal pikiran manusia mampu menyatakan bahwa hal itu adalah baik setiap kali menyaksikannya. Sefat-sifat seperti kezaliman, pengecut, pengkhianat sepanjang esensinya adalah buruk sehingga akal pikiran mampu menyatakan bahwa hal itu adalah buruk bila menyaksikannya. Oleh karena itu, baik dan buruk itu merupakan sifat esensi dari suatu perbuatan, maka kekuatan akal pikiran yang sehat secara independen mampu mengtahuinya. Artinya, untuk mengetahui baik dan buruk sebagai dari perbuatan bisa dengan akal pikiran, tidak tergantung pada wahyu.[22]
b.    Kalangan muturidiyah berpendapat bahwa sesuatu itu ada yang baik dan pula yang buruk menurut esensinya. Disamping itu, ada pula hal-hal yang tidak diketahui oleh akal baik dan buruknya. Menurut pendapat ini, meskipun akal pikiran bisa mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan, namun umat manusia tidak wajib dalam arti tidak berpahala mengikuti kesimpulan akal pikiran itu. Jadi, menurut aliran ini, masalah dosa dan pahala mutlak hanya dapat diketahui oleh wahyu. Menurut aliran ini akal semata tidak dapat dijadikan landasan hukum. Setiap ketetapan hukum haruslah bereferensi pada wahyu.
c.    Kalangan Asy-ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan buruk menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sifat yang datang kemudian, bukan bersifat esensial. Yang membuat sesuatu baik dan buruk adalah perintah atau larangan Allah. Akal tidak punya wewenang untuk menetapkan baik dan buruknya sesuatu. Sesuatu dikatakan baik karena wahyu menilainya baik, sebaliknya sesuatu dikatakan buruk karena wahyu menilainya buruk. oleh sebab itu, sebelum turun wahyu, tidak ada beban taklif bagi manusia dan oleh karena itu belum ada pertimbangan dosa dn pahala bagi suatu tindakan.[23]
Dari keterangan di atas, jelslah bahwa menurut kalangan maturidiyah dan Asy-ariyah, bahwa yang menjadi sumber hukum hanyalah wahyu Allah semata, dan bahwa akal tidak punya kewenangan dalam hal tersebut. Alas an mereka adalah bahwa Allah tidak akan menghukum seseorang atas suatu perbuatan yang belum ada petunjuk hukum dari pihak-nya, seperti dijelaskan dalam al-qur’an surat al-Isra’ ayat 15.
مَّنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا ١٥

15. Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. al-Isra’/17:15)[24]
Meskipun demikian, menurut dua aliran ini bukan berarti akal tidak berfungsi sama ekali dalam hal ini. Akal berfungsi dalam hal-hal yang diberikan Allah kepadanya. Kenyataan diantara nash-nash wahyu ada yang tidak tegas pengertiannya dan ada pula yang tidak disebut secar eksplisit dalam wahyu. Akal berperan dalam menarik hukum dari teks-teks yang tidak tegas itu dan melakukan ijtihad yang dilandaskan kepada wahyu untuk memecahkan masalah yang secara eksplisit belum ada hukumnya. Bedanya dengan kalangan mu’tazilah adalah akal menjadi sumber hukum dalam hal-hal yang tidak disebutkan dalam al-qur’an, sedangkan maturidiyah dan Asy-ariyah, akal hanya sebagai alat untuk memahami wahyu Allah SWT.[25]


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru                    Van Hoeve.
Dr. H. Abd Rahman Dahlan MA, 2010. Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah.
Drs. Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimy MA, 2008. Ilmu Ushul Fiqih.
            Jombang: Darul Hikmah Jombang.
Drs. Musnad Razin, MH, 2014. Ushul Fiqih 1. Stain Jurai Siwo Metro Lampung
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
            Prenamedia Group.
Prof. Dr. H. Satria Effendi Mzein. MA, 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Prenamedia
            Group.
Prof. Dr. Racmad Syafe’I, MA, 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV PUSTAKA.
Syekh Abdul Wahab Khallaf, 1995. Ushul Fiqih. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, 1983. Terjemah Ushul Fiqih. Pekalongan:
            Raja Murah.









[1]  Prof. Dr. H. Satria Effendi. M Zein. MA, Ushul Fiqih, (Jakarta: PRENAMEDIA GROUP, 2005), hal. 68.
[2]  Drs. Musnad Razin, MH, Ushul Fiqih 1, (Stain Jurai Siwo Metro Lampung, 2014), hal. 32.
[3]  Ibid.
[4] Ibid.
[5]   Drs. Musnad Razin, MH, Ushul Fiqih 1, (Stain Jurai Siwo Metro Lampung, 2014), hal. 32.

[6]  Prof. Dr. H. Satria Effendi. M Zein. MA, Ushul Fiqih, (Jakarta: PRENAMEDIA GROUP, 2005), hal. 68.

[7]  Syekh Abdul Wahab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1995), hal. 114 -115.
[8]  ibid., h.115
[9]  Ibid.

[10]  Syekh Abdul Wahab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1995), hal. 116.

[11] Ibid., h. 118.
[12]  Drs. Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimy, M A,  ILMU USHUL  FIQIH (jombang; Darul hikmah jombang, 2008), hal. 166-167.
 [13] Dr. H .Abd. Rahman  Dahlan, M.A, USHUL FIQIH (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 88.
[14]  Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah, 1983), hal. 24.
[15]  Prof. Dr. Rachmad  Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA , 2010), hal. 345.
[16] Ibid., h. 348.
[17]  Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Terjemah ushul fiqih, (Pekalongan: Raja Murah, 1982), hal. 24-25.
[18] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hal. 25-26
[19]  Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: cv pustaka setia, 2010), hal. 349-340
[20] Ibit.
[21] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 504
[22] Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010), hal. 68-69
[23] Ibid., h. 72.
[24]  Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010), hal. 72.

[25]Ibid., h. 73.

1 komentar:

  1. Merkur Gold Strike Safety Razor - FEBCASINO
    Merkur's herzamanindir Gold https://febcasino.com/review/merit-casino/ Strike Safety Razor, Merkur หาเงินออนไลน์ Platinum Edge https://deccasino.com/review/merit-casino/ Plated Finish, German, Gold-Plated, Satin Chrome Finish. Merkur has a www.jtmhub.com more aggressive looking,

    BalasHapus