HAKIM
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah : USHUL FIQIH
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, MSI
Disusun Oleh:
Lilis soleha (1502080061)
Kelas A
PRODI D3 PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN
) JURAI SIWO METRO
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
1. HAKIM
a. Pengertian Hakim
Kata hakim secara
etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fiqih kata hakim
juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama
maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqih, kata hakim berarti pihak
penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.[1]
Bila di tinjau dari
segi bahasa, hakim mempunyai dua arti yaitu: pertama: “pembuat hukum, yang menerapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua:
“yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.”[2]
Hakim
termasuk persoalan yang cukup tinggi dalam ushul fiqih, sebab berkaitan dengan
pembuat hukum dalam syari’at islam, atau
pembuatan hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi
pelanggarnya. Dalam ilmu ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.[3]
Disepakati
bahwa wahyu merupakan sumber syar’iat. Adapun sebelum datangnya wahyu, para
ulama menperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu,
sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk
dikenakan sanksi.[4]
Dari
pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalah
Allah SWT. baik yang berkaitan dengan hukum dan
satu-satunya sumber hukum yang di
titahkan kepada seluruh mukhalaf. Dalam islam, tidak ada syar’iat, kecuali dari
Allah SWT. baik yang berkaitan dengan sumber hukum taklif (wajib, haram,
makhruh, dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi’ (sebab, syarat,
halangan, sah, batal, fasid, azimah, Dan rukhsah). Menurut kesepakatan para
ulama, semua hukum di atas bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW,
maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui beberapa teori istinbath, seperti
qiyas, ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyikapi hukum yang
datang dari Allah SWT. Dalam hal ini para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah:
“tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”.[5]
Ulama
ushul fiqih sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum
syari’at adalah Allah. Hal ini ditunjukkan oleh al-qur’an dalam surat al-An’am
ayat 57:
قُلۡ إِنِّي عَلَىٰ
بَيِّنَةٖ مِّن رَّبِّي وَكَذَّبۡتُم بِهِۦۚ مَا عِندِي مَا تَسۡتَعۡجِلُونَ بِهِۦٓۚ
إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِۖ يَقُصُّ ٱلۡحَقَّۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلۡفَٰصِلِينَ ٥٧
57. Katakanlah:
"Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari
Tuhanku[479], sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu
minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling
baik". (QS. al-An’am
/6:57)
Meskipun para ulama
ushul fiqih sepakat bahwa pembuat hukum hanyalah Allah, namun mereka berbeda
pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat
diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya rasulullah, atau akal secara
independen bisa juga mengetahuinya.. perbedaan pendapat ini berpangkal dari
perbedaan pendapat tentang fungsi akal dalam mengetahui baik dan buruk suatu
hal.[6]
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang menjadi sumber hukum syar’I bagi seluruh
perbuatan mukhallaf ialah Allah SWT. Sama saja, baik yang berupa pernyataan
hukum bagi perbuatan mukallaf langsung dari nash yang diwahyukan Allah kepada
rasul-nya, maupun yang merupakan petunjuk kepada mujtahid bagi hukum dari hal
perbuatan mukallaf dengan perantaraan dail, atau perintah yang disyariatkan
untuk mengumpulkan hukum-hukumnya. Dalam hal ini ulama sepakat mengatakan
tentang definisi hukum syar’I, bahwa firman Allah yang bersangkut perbuatan
mukallaf itu ditunjukkan, atau dipilih, atau ditempatkan. Dari mereka itu
pernyataan termasyhur, berbunyi: tidak ada hukum selain Allah SWT.[7]
Benarlah firman tuhan yang berbunyi: Dialah yang
menerangkan yang sebenarnya, dan dia pemberi keputusan yang paling baik ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama yang mengatakan bahwa hukum Allah itu ada
dalam perbuatan mukallaf. Apakah mungkin bagi akal mengetahui dengan sendirinya
tanpa perantara Rasul-rasul dan kitab-kitab suci. Sebab ada orang yang tidak
sampai kepadanya dakwah rasul. Namun dia sanggup mengetahui hukum Allah tentang
perbuatan mukallaf itu sendiri tanpa Rasul dan kitab suci. Tidak ada perbedan
pendapat yang mengatakan bahwa hakim itu Allah. Yang menjadi hakim itu ialah
Allah yang memperbedakan hanya mengetahui hukum Allah SWT tentang perbedaan ini
maka ulama dapat dibagi tiga bagian.[8]
Mazhab Al Asy Ariah, pengikut Abu Hasan Al Asy Ari mengatakan
bahwa, tidak mungkin akal mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf,
kecuali dengan perantaraan Rasul dan kitab. Karena akal itu berbeda-beda
kemampuannya dalam menilai perbuatan.[9]
Mazhab Mu’tazilah, yaitu pengikut Washil bin Utha’.
Mazhab ini beranggapan bahwa ada kemungkinan orang mengetahui hukum Allah dalam
perbuatan mukallaf itu dengan sendirinya, tanpa perantaraan Rasul dan kitabnya.[10]
Mazhab Maturidiah. Yaitu pengikut Abu Mansur Maturidi.
Inilah mazhab pertengahan dan sederhana yaitu menguatkan ra-I (kemampuan
berfikir) katanya, perbuatan mukallaf itu, didalamnya terdapat hal-hal yang
khusus, mampu untuk yang baik dan yang buruk. akal itu dibina atas keistimewaan
ini. Hukum itu ikut menentukan bahwa ini perbuatan baik dan ini perbuatan
buruk. apa yang menurut pertimbangan akal itu buruk, maka dia adalah buruk.
tapi tidak lazim hukum Allah itu dalam perbuatan mukallaf sesuai dengan apa
yang difikirkan oleh akal tentang baik dan buruk. karena akal itu bila diperas
kadang-kadang tersalah.[11]
Semua ulama sepakat bahwa Allah SWT yang
berhak mencipta dan menerapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu,
hamba-hambanya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan menjauhi
larangan-larangannya. Dalam konteks penerapan hukum, di lingkungan ulama ushul
fiqih dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukh (yang menerapkan
hukum) dan Al-muzhir li al hukh (yang membuat hukum menjadi nyata). Yang
dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukh ialah, yang berhak membuat dan menerapkan
hukum. Yang berhak membuat dan menerapkan hukum hanyalah Allah SWT, tidak ada
siapapun yang berhak menerapkan hukum kecuali
Allah.tatapi, perlu ditegaskan kembali,selain digunakan istilah al-hakim
dan asy-syari (pembuat syariat) dalam
istilah hakim dan asy-syari Allah SWT
bermakna sebagai pencipta dan pembuat hukum ,harus pula ditambahkan Rasulullah
SAW .dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat
diambil pengertian bahwa hakim adalah:[12]
Hakim adalah pembuat hukum yang menerapkan hukum, yang
memunculkan hukum dan yang membuat sumber hukum. Barang siapa yang tidak
memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang kafir. [13]
Al-hakim ialah
Allah SWT dan yang memperkenalkan hukum-hukumnya ialah Rasul-rasulnya dengan
apa yang disampaikannya kepada manusia. Telah disebutkan dalam definisi hukum
bahwa ia adalah khitob Allah dan disimpulkan dari situ bahwa khitob Allah
diambil dalam hakikat hukum sehingga tiada hukum kecuali yang bersumber dari
Allah dan ini adalah masalah yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin.[14]
Disepakati bahwa
wahyu merupaka sumber syari’at. Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama
memperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga
orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan
sanksi. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hakim adala
Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya pembuat hukum yang di
perintahkan kepada setiap mukallaf. Dalam islam tidak ada syari’at, kecuali
dari Allah SWT. Hal tersebut telah ditunjukkan dalam al-qur’an surat An-nisa
ayat 59.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
59. Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisa : 59)[15]
Sedangkan dari
pengertia kedua tentang hakim di atas
ulama ushul fiqih membedakan sebagai berikut:
1. Sebelum Muhammad SAW. Diangkat sebagai
Rasul
2. Setelah diangkatnya Muhammad SAW sebagai
Rasul dan menyrbarkan dakwah islam.[16]
Masalah ini
menimbulkan pertentangan dikatakan bahwa mereka yang menyampaikan hukum Allah
SWT adalah khusus para Rasul dan tidak ada jalan yang menghalangi hukum Allah
dengan akal sebelum mengutus seorang Nabi. Dikatakan pula bahwa akal bisa
sendirian memahami hukum Allah dalam perbuatan berdsarkan pengetahuannya akan
hal baik dan buruk. pendapat yang pertama berdasarkan bahwa dalam
perbuatan-perbuatan itu tidak terdapat sifat-sifat baik dab buruk terhadap dzatnya
dengan sebab perbuatan itu yang diminta Allah untuk melakukannya dan
meninggalkannya . akan tetapi ia minta untuk melakukan apa yang dikehendakinya
sehingga menjadi baik dan minta untuk meninggalkannya sehingga menjadi buruk.
pedapat kedua berdasarkan pensifatan perbuata-perbuatan baik dan buruk menurut
sifat dzatnya dan bahwa akal bisa sendirian memahami hal itusebelum datangnya
syariat dan hukum-hukum Allah harus sesuai sifat perbuatan-perbuatan itu, maka
dimungkinkan memahami hukum-hukum itu sebelum datangnya syariat sesuai yang
dipahami oleh akal. Untuk menunjukkan yang besar di antara pendapat-pendapat
itu haruslah kita bicarakan hal-hal ini: apakah kebaikan dan keburukan itu,
apakah mungkin bagi akal sendirian memahami hal itu, apakah hukum-hukum Allah
harus sesuai dengan apa yang di pahami akal dalam perbuatan dari kebaikan dan
perburukan.[17]
Dalam pandagan
islam yang berhak membuat dan menetapkan hukum dalam arti sebenarnya adalah
Allah SWT karena yang akan menjalankan hukum itu adalah manusia yang tidak
mungkin berhadapan secara fisik dengan Allah pembuat hukum itu, maka tentu ada
yang menyampaikan hukum Allah itu kepada manusia. Penyampai hukum Allah itu
adalah Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian hukum Allah itu baru diketahui dan
berlaku setelah Nabi lahir, diutus dan menyampaikan kitab Allah tersebut. Hal
ini berarti sebelum diutusnya Nabi Muhammamd belum berlaku beban hukum terhada[18]p
manusia.
b. Baik dan buruk.
Ada banyak pengertian
yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih tentang baik dan buruk.
1. Al-husnu adalah segala perbuatan yang dianggap
sesuai dengan tabi’at manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang
yang celaka. Sedang buruk ataupun qabih adalah segala sesuatu yang tidak sesuai
dengan tabi’atmanusia, misalnya menyakiti orang lain.
2. Al-husnu, diartikan sebagai sifat yang
sempurna, misalnya kemuliaan dan pengetahuan. Sebaiknya, qabih diartikan
sebagai sifat jelek, yaitu kekurangan
dalam diri seseorang, seperti bodoh, fakir. Kedua pengertian tentang hasan atau
qabih telah disepakati oleh para ulama bahwa hal itu hanya bisa dicapai oleh
akal.
3. Al-husnu, adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh
manusia, sedangkan qabih, merupakan segala perbuatan yang tidak dikerjakan oleh
manusiua. Hal itu disepakati para ulama dalam ha yang tidak bisa di capai oleh
akal.
4. Al-husnu, diartikan sebagai pekerjaan yang bila
dikerjakan akan mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT. Kelak di
akhirat. Sebaliknya qabih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari
manusia bila dikerjakan, seperti maksiat, mencuri, dan lain-lain.[19]
Pengertian yang
diperselisihkan oleh para ulama adalah nomor tiga dan empat, yaitu tentang
mungkin tidaknya dicapai oleh akal. Menurut Asy-‘ariyah, pengertian nomor tiga
dan empat hanya bisa ditentukan oleh syara’. Baik dan buruknya bukanlah
terdapat pada dzatnya, tetapi pada sifatnya yang nisbi (relatif).[20]
Ulama Asy-ariyah (Ahlussunah
wal jamah) berpendapat bahwa al-hasan dan al-qabih dalam pengertian ketiga dan
ke empat di atas bersifat syar’i (secara
syara’) dan harus ditentukan oleh syara’ karena keduanya hanya dapat diketahui
melalui syara’. Baik atau buruk bukanlah terdapat pada dzat, ulama’ mu’tazilah
(aliran teologi islam yang rasional dan riberal) berpendapat bahwa al-hasan dan
al-qabih dapat dicapai dan ditentukan oleh akal. Akal dapat menentukan baik atu
buruknya sesuatu tanpa harus diberitahu oleh syara’. Menurut mereka, sebagian
baik dan buruk terletak pada dzatnya, dan sebagian yang lain terlatak pada
manfaat dan mudharatnya.[21]
Perbedaan pendapat
pendapat tentang baik dan buruk dalam kajian Ushul Fiqih berasal dari perbedaan
pendapat dikalangan para ahli ilmu kalam. Hal yang diperbedakan adalah tentang
apakah nilai baik dan buruknya suatu benda merupakan sifat esensi dari nilai
benda itu atau tidak. Dalam hal ini tendapat beberapa pendapat:
a. Kalangan mu’tazilah berpendapat bahwa
perbuatan yang bersifat baik dan buruknya bersifat esensial. Berkata benan
sepanjan esensianya adalah baik dan sebaiknya berbohog sepanjang esensinya adalah
buruk. emikian halnya sifat-sifat terpuji seperti adil, santun, berani, jujur, dan
menolong orang lain, sepanjang esensinya adalah baik sehingga akal pikiran
manusia mampu menyatakan bahwa hal itu adalah baik setiap kali menyaksikannya. Sefat-sifat
seperti kezaliman, pengecut, pengkhianat sepanjang esensinya adalah buruk sehingga
akal pikiran mampu menyatakan bahwa hal itu adalah buruk bila menyaksikannya. Oleh
karena itu, baik dan buruk itu merupakan sifat esensi dari suatu perbuatan,
maka kekuatan akal pikiran yang sehat secara independen mampu mengtahuinya.
Artinya, untuk mengetahui baik dan buruk sebagai dari perbuatan bisa dengan
akal pikiran, tidak tergantung pada wahyu.[22]
b. Kalangan muturidiyah berpendapat bahwa
sesuatu itu ada yang baik dan pula yang buruk menurut esensinya. Disamping itu,
ada pula hal-hal yang tidak diketahui oleh akal baik dan buruknya. Menurut
pendapat ini, meskipun akal pikiran bisa mengetahui baik dan buruk suatu
perbuatan, namun umat manusia tidak wajib dalam arti tidak berpahala mengikuti
kesimpulan akal pikiran itu. Jadi, menurut aliran ini, masalah dosa dan pahala
mutlak hanya dapat diketahui oleh wahyu. Menurut aliran ini akal semata tidak
dapat dijadikan landasan hukum. Setiap ketetapan hukum haruslah bereferensi
pada wahyu.
c. Kalangan Asy-ariyah berpendapat tidak ada
yang bersifat baik dan buruk menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu
adalah sifat yang datang kemudian, bukan bersifat esensial. Yang membuat
sesuatu baik dan buruk adalah perintah atau larangan Allah. Akal tidak punya
wewenang untuk menetapkan baik dan buruknya sesuatu. Sesuatu dikatakan baik
karena wahyu menilainya baik, sebaliknya sesuatu dikatakan buruk karena wahyu
menilainya buruk. oleh sebab itu, sebelum turun wahyu, tidak ada beban taklif
bagi manusia dan oleh karena itu belum ada pertimbangan dosa dn pahala bagi
suatu tindakan.[23]
Dari keterangan di
atas, jelslah bahwa menurut kalangan maturidiyah dan Asy-ariyah, bahwa yang
menjadi sumber hukum hanyalah wahyu Allah semata, dan bahwa akal tidak punya
kewenangan dalam hal tersebut. Alas an mereka adalah bahwa Allah tidak akan
menghukum seseorang atas suatu perbuatan yang belum ada petunjuk hukum dari
pihak-nya, seperti dijelaskan dalam al-qur’an surat al-Isra’ ayat 15.
مَّنِ
ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ
عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا ١٥
15. Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya
sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami
tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS.
al-Isra’/17:15)[24]
Meskipun demikian, menurut
dua aliran ini bukan berarti akal tidak berfungsi sama ekali dalam hal ini.
Akal berfungsi dalam hal-hal yang diberikan Allah kepadanya. Kenyataan diantara
nash-nash wahyu ada yang tidak tegas pengertiannya dan ada pula yang tidak
disebut secar eksplisit dalam wahyu. Akal berperan dalam menarik hukum dari
teks-teks yang tidak tegas itu dan melakukan ijtihad yang dilandaskan kepada
wahyu untuk memecahkan masalah yang secara eksplisit belum ada hukumnya.
Bedanya dengan kalangan mu’tazilah adalah akal menjadi sumber hukum dalam
hal-hal yang tidak disebutkan dalam al-qur’an, sedangkan maturidiyah dan
Asy-ariyah, akal hanya sebagai alat untuk memahami wahyu Allah SWT.[25]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, 1996.
Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Dr. H. Abd Rahman
Dahlan MA, 2010. Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah.
Drs. Muhammad Ma’shum
Zainy al-Hasyimy MA, 2008. Ilmu Ushul Fiqih.
Jombang: Darul Hikmah Jombang.
Drs. Musnad Razin, MH,
2014. Ushul Fiqih 1. Stain Jurai Siwo Metro Lampung
Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Prenamedia Group.
Prof. Dr. H. Satria
Effendi Mzein. MA, 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Prenamedia
Group.
Prof. Dr. Racmad
Syafe’I, MA, 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV PUSTAKA.
Syekh Abdul Wahab
Khallaf, 1995. Ushul Fiqih. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Syekh Muhammad
Al-Khudhori Biek, 1983. Terjemah Ushul Fiqih. Pekalongan:
Raja Murah.
[1]
Prof. Dr. H. Satria Effendi. M Zein. MA, Ushul
Fiqih, (Jakarta: PRENAMEDIA GROUP, 2005), hal. 68.
[6]
Prof. Dr. H. Satria Effendi. M Zein. MA, Ushul
Fiqih, (Jakarta: PRENAMEDIA GROUP, 2005), hal. 68.
[12]
Drs. Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimy, M A, ILMU USHUL
FIQIH (jombang; Darul hikmah jombang, 2008), hal. 166-167.
[14]
Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Terjemah
Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah, 1983), hal. 24.
[17]
Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Terjemah
ushul fiqih, (Pekalongan: Raja Murah, 1982), hal. 24-25.
[18]
Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2012), hal. 25-26
[19] Prof. DR.
Rachmat Syafe’I, MA, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: cv pustaka setia, 2010), hal. 349-340
[21] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 504
Merkur Gold Strike Safety Razor - FEBCASINO
BalasHapusMerkur's herzamanindir Gold https://febcasino.com/review/merit-casino/ Strike Safety Razor, Merkur หาเงินออนไลน์ Platinum Edge https://deccasino.com/review/merit-casino/ Plated Finish, German, Gold-Plated, Satin Chrome Finish. Merkur has a www.jtmhub.com more aggressive looking,